STIGMA NEGATIF TERHADAP KUCING
Tak dipungkiri sejak dulu hingga kini, kucing terutama kucing lokal acap menerima stigma negatif dari masyarakat.
Stigma itu seolah diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, bahkan acap melatarbelakangi kekerasan terhadap kucing.Kucing dituding sebagai penyebab suami istri susah mendapat momongan, sumber toksoplasma, penyebab gatal-gatal kulit, penyebab seseorang mengidap asma, predator unggas peliharaan, pencuri lauk nomor wahid, perusak atap dan plafond, serta sederet tudingan keji yang sarat kebencian. Yang terkini kucing juga dikaitkan dengan virus Corona.
Mirisnya semua tudingan lebih banyak diarahkan kepada stray cat & feral cat, si kucing tak bertuan. Seandainya bisa memilih, mereka pun tak ingin terlahir dalam situasi demikian. Kucing berpemilik juga tak luput dari sasaran kebencian.
Tak ayal kebencian itu berbanding lurus dengan fakta hanya sebagian kecil dari kita yang bersedia merawat kucing sebagai peliharaan, terlebih kucing lokal yang tidak memiliki harga jual dan prestise. Padahal ada begitu banyak kebaikan dari merawat kucing.
Berdasarkan sensus kepemilikan kucing oleh Dalia Research, lembaga riset yang berbasis di Berlin, kepemilikan kucing orang Indonesia hanya berkisar 22% dari jumlah penduduknya. Sensus dilakukan pada tahun 2017 dan melibatkan 52 negara di dunia.
Hasil ini sangat kontras dengan masyarakat Rusia yang mencapai 59%, bahkan jauh tertinggal dari tetangga Malaysia dan Filipina yang masing-masing 40% dan 36%. Artinya kita belum cukup ramah, peduli dan mencintai kucing.
Semoga kedepannya dengan edukasi dan komitmen penuh para pecinta kucing stigma buruk itu bisa hilang.
Salam meong bundanya Uncit & Untal...
Comments
Post a Comment